Cinta dan Logika

 

Sumber Foto: https://id.theasianparent.com/

“Jatuh cinta” mungkin kata itu memberikan makna yang cukup mendalam. Tidak peduli siapa, kapan, dan dimana jatuh cinta itu akan tumbuh. Saya rasa jatuh cinta memberikan dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan. Ketika seseorang sudah dibutakan akan yang namanya cinta ia tidak memperdulikan hal-hal diluar logika. Katanya, cinta akan sulit bersanding dengan logika. “Urusan cinta pakai hati! Bukan kepala” ujaran itu saya pikir sepakat jika cinta tidak menggunakan kepala sebagai pemantiknya, akan tetapi kita juga harus mempertimbangkan akal rasio kita untuk menyelesaikannya. Kita perlu menggunakannya secara setara, tanpa mengunggulkan diantaranya. 

Tahu kata “Bucin” alias “Budak Cinta”? dalam kalangan remaja, bucin tampaknya membuat seseorang menjadi bodoh? Saya kira memang benar adanya, jika seseorang hanya menggunakan hati dan perasaannya sebagai teknis untuk menyelesaikan segala permasalahan dalam urusan asmara, maka ia akan di bodohi akan perlakuan diluar kebiasaan. Entah itu berdampak baik ataupun buruk baginya. Karena pada dasarnya kita sebagai manusia bukan pembuat kebijakan yang rasional akan suatu pilihan, ada saja pengaruh emosional yang membuat pilihan kita tidak murni rasional. Lantas apa yang terjadi jika kita mematikan logika dalam urusan asmara? Tentu saja kita akan meluncur bebas, terperosok dalam jurang kesesatan yang bernama cinta.

Banyak kasus kekerasan yang terjadi dalam suatu percintaan, saya pikir hal tersebut karena tidak menyetarakan antara hati dan logika. Kenapa tidak? Ketika keinginan salah-satu dalam pasangan tidak dituruti kehendaknya, atas nama cinta maka ia semena-mena dapat berbuat. Baik itu mengeluarkan ujaran makian, memaksa dengan tekanan, hingga kekerasan dan perkara selingkuh pun dapat terjadi. Akhirnya? Tentu saja ada pihak yang dirugikan entah itu secara fisik maupun jiwanya. Saya tidak menyalahkan siapa pun,  hanya saja yang saya tekankan disini adalah penyetaraan antara hati dan logika. Jika saja dalam suatu percintaan menyeimbangkan hati dan logika, maka ia  paham apa hak dan kewajibannya sebagai manusia.

Mengutip survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2016, tingkat kekerasan baik secara fisik dan seksual yang dialami perempuan belum menikah yaitu sebesar 42,7 persen. Kemudian berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 sebanyak 1.309 kasus kekerasan dalam pacaran terjadi. Belum lagi perkara kekerasan dalam rumah tangga yang tiap tahunnya terdengar dalam media massa. Ironis memang!, hidup dalam suatu negara yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia tapi nyatanya masih saja didapati perkara kekerasan dengan dalih perasaan cinta.

Melansir dari situs tempo.co yang mengutip laman resmi KPPPA, ada lima bentuk kekerasan dalam hubungan asmara khususnya hubungan tanpa pernikahan. Pertama, kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan kuat, dan lainnya. Kekerasan ini tentunya dapat menimbulkan sakit fisik pada korban seperti lebam, luka, patah tulang, hingga cacat permanen. Kedua, kekerasan secara emosional atau psikologis. Kekerasan ini bisa berbentuk ancaman, panggilan dengan sebutan yang memalukan, marah berlebihan, dan menjelek-jelekkan pasangan. Ketiga, kekerasan secara ekonomi, contohnya meminta pasangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan memeras pasangan. Keempat, kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba, hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual di bawah ancaman dan tanpa persetujuan dari pasangan. Kelima, kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan seperti terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, terlalu mengatur kegiatan pasangan, dan mudah mengancam jika pasangan tidak melakukan kemauannya.

Kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dapat menimbulkan dampak beragam bagi korban, baik luka fisik maupun psikis. Jika tidak mendapat pertolongan, korban kekerasan bisa depresi hingga timbul keinginan untuk bunuh diri. Seperti kasus bunuh diri Novia Widyasari yang belakangan jadi sorotan publik. Ia merupakan satu dari sekian banyak kasus kekerasan dalam percintaan. Novia diduga mengalami depresi berat akibat tindakan tidak bertanggung jawabnya sang mantan kekasih yaitu Randy Bagus Hari Sasongko. Dalam kabar yang beredar, Novia diperkosa secara paksa oleh mantan kekasihnya. Tidak hanya itu, Novia juga dipaksa aborsi atas anak yang dikandungnya. Ketika ia meminta pertanggung jawaban kepada mantan kekasihnya, bukannya dinikahi yang ada justru merusak mentalnya.

Kembali ke topik, berdasarkan kasus yang saya sebutkan, saya kira sang mantan kekasih Novia mengunggulkan logika diluar kebijakan rasional. Entah apa yang dipikirkannya, jika seandainya sang mantan kekasih menggunakan hatinya, ia akan menjunjung harkat martabat wanitanya. Namun yang ada, ia malah menggunakan logika sebagai pemantiknya dengan dalih jabatan pekerjaannya. Jatuhnya? Ada yang terkorbankan pastinya.

Kita sebagai manusia yang mengutamakan hak, sudah sepantasnya menyeimbangkan antara hati dan logika. Jangan sampai terperosok ke jurang hitam karena tidak seimbangnya antara hati dan logika. Jadilah pengambil kebijakan yang berkepala dingin. Seimbangkan antara cinta dan logika. Jangan karena logika, kamu rela tidak bahagia. Dan Jangan karena cinta, kamu rela merusak jiwa.

Penulis: Faradzpen

#Stopkekerasanseksual

#SahkanRUUPKS

#PermendikbudristekPPKS

 

 

                                                    

 

Comments