Cinta dan Logika
“Jatuh cinta” mungkin kata itu
memberikan makna yang cukup mendalam. Tidak peduli siapa, kapan, dan dimana
jatuh cinta itu akan tumbuh. Saya rasa jatuh cinta memberikan dampak yang cukup
signifikan dalam kehidupan. Ketika seseorang sudah dibutakan akan yang namanya
cinta ia tidak memperdulikan hal-hal diluar logika. Katanya, cinta akan sulit
bersanding dengan logika. “Urusan cinta pakai hati! Bukan kepala” ujaran itu
saya pikir sepakat jika cinta tidak menggunakan kepala sebagai pemantiknya,
akan tetapi kita juga harus mempertimbangkan akal rasio kita untuk
menyelesaikannya. Kita perlu menggunakannya secara setara, tanpa mengunggulkan
diantaranya.
Tahu kata “Bucin” alias “Budak Cinta”? dalam
kalangan remaja, bucin tampaknya membuat seseorang menjadi bodoh? Saya kira
memang benar adanya, jika seseorang hanya menggunakan hati dan perasaannya
sebagai teknis untuk menyelesaikan segala permasalahan dalam urusan asmara,
maka ia akan di bodohi akan perlakuan diluar kebiasaan. Entah itu berdampak
baik ataupun buruk baginya. Karena pada dasarnya kita sebagai manusia bukan
pembuat kebijakan yang rasional akan suatu pilihan, ada saja pengaruh emosional
yang membuat pilihan kita tidak murni rasional. Lantas apa yang terjadi jika
kita mematikan logika dalam urusan asmara? Tentu saja kita akan meluncur bebas,
terperosok dalam jurang kesesatan yang bernama cinta.
Banyak kasus kekerasan yang terjadi
dalam suatu percintaan, saya pikir hal tersebut karena tidak menyetarakan
antara hati dan logika. Kenapa tidak? Ketika keinginan salah-satu dalam pasangan
tidak dituruti kehendaknya, atas nama cinta maka ia semena-mena dapat berbuat.
Baik itu mengeluarkan ujaran makian, memaksa dengan tekanan, hingga kekerasan
dan perkara selingkuh pun dapat terjadi. Akhirnya? Tentu saja ada pihak yang
dirugikan entah itu secara fisik maupun jiwanya. Saya tidak menyalahkan siapa
pun, hanya saja yang saya tekankan
disini adalah penyetaraan antara hati dan logika. Jika saja dalam suatu
percintaan menyeimbangkan hati dan logika, maka ia paham apa hak dan kewajibannya sebagai
manusia.
Mengutip survei Pengalaman Hidup
Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2016, tingkat kekerasan
baik secara fisik dan seksual yang dialami perempuan belum menikah yaitu
sebesar 42,7 persen. Kemudian berdasarkan Catatan
Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 sebanyak 1.309 kasus kekerasan
dalam pacaran terjadi. Belum lagi perkara kekerasan dalam rumah tangga yang
tiap tahunnya terdengar dalam media massa. Ironis memang!, hidup dalam suatu
negara yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia tapi nyatanya masih
saja didapati perkara kekerasan dengan dalih perasaan cinta.
Melansir dari situs tempo.co yang
mengutip laman resmi KPPPA, ada lima bentuk kekerasan dalam hubungan asmara
khususnya hubungan tanpa pernikahan. Pertama, kekerasan fisik seperti memukul,
menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan kuat, dan lainnya. Kekerasan
ini tentunya dapat menimbulkan sakit fisik pada korban seperti lebam, luka,
patah tulang, hingga cacat permanen. Kedua, kekerasan secara emosional atau
psikologis. Kekerasan ini bisa berbentuk ancaman, panggilan dengan sebutan yang
memalukan, marah berlebihan, dan menjelek-jelekkan pasangan. Ketiga, kekerasan
secara ekonomi, contohnya meminta pasangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dan memeras pasangan. Keempat, kekerasan seksual seperti memeluk, mencium,
meraba, hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual di bawah ancaman dan
tanpa persetujuan dari pasangan. Kelima, kekerasan pembatasan aktivitas oleh
pasangan seperti terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga,
terlalu mengatur kegiatan pasangan, dan mudah mengancam jika pasangan tidak
melakukan kemauannya.
Kekerasan yang dilakukan oleh pasangan
dapat menimbulkan dampak beragam bagi korban, baik luka fisik maupun psikis.
Jika tidak mendapat pertolongan, korban kekerasan bisa depresi hingga timbul
keinginan untuk bunuh diri. Seperti kasus bunuh diri Novia Widyasari yang
belakangan jadi sorotan publik. Ia merupakan satu dari sekian banyak kasus
kekerasan dalam percintaan. Novia diduga mengalami depresi berat akibat
tindakan tidak bertanggung jawabnya sang mantan kekasih yaitu Randy Bagus Hari
Sasongko. Dalam kabar yang beredar, Novia diperkosa secara paksa oleh mantan
kekasihnya. Tidak hanya itu, Novia juga dipaksa aborsi atas anak yang
dikandungnya. Ketika ia meminta pertanggung jawaban kepada mantan kekasihnya,
bukannya dinikahi yang ada justru merusak mentalnya.
Kembali ke topik, berdasarkan kasus yang
saya sebutkan, saya kira sang mantan kekasih Novia mengunggulkan logika diluar kebijakan
rasional. Entah apa yang dipikirkannya, jika seandainya sang mantan kekasih menggunakan
hatinya, ia akan menjunjung harkat martabat wanitanya. Namun yang ada, ia malah
menggunakan logika sebagai pemantiknya dengan dalih jabatan pekerjaannya.
Jatuhnya? Ada yang terkorbankan pastinya.
Kita sebagai manusia yang mengutamakan hak, sudah sepantasnya menyeimbangkan antara hati dan logika. Jangan sampai terperosok ke jurang hitam karena tidak seimbangnya antara hati dan logika. Jadilah pengambil kebijakan yang berkepala dingin. Seimbangkan antara cinta dan logika. Jangan karena logika, kamu rela tidak bahagia. Dan Jangan karena cinta, kamu rela merusak jiwa.
Penulis: Faradzpen
#Stopkekerasanseksual
#SahkanRUUPKS
#PermendikbudristekPPKS
Comments
Post a Comment