Cerpen I : Mengenang Masa
Ini aku seorang gadis remaja yang sedang memikul
beban kerinduan akan kehadiran seorang ibu dan masa kecilku. Panggil saja
namaku Rara, sudah tujuh belas tahun ibu pergi meninggalkan ku selamanya. Ibu
pergi dikala diri ini masih balita yang tidak mengerti akan arti kehilangan.
Aku yang kini sudah menginjak usia kepala dua, merasa sedih telah melupakan
banyak kenangan bersamanya. Yang teringat hanyalah diriku yang suka bermain
anak tangga, dan diriku yang tersandung ranting kayu ketika pemakaman ibu sudah
tiba. Hati dan pikiran ku sesak, penuh dengan beban kerinduan yang menuai
tangisan.
Selama tujuh belas tahun setelah kepergian ibu,
hidupku bersama seorang ayah yang berperan ganda dalam mendidik ku. Mulai dari
aku masuk sekolah belajar hitungan menggunakan bilah lidi yang dipotong
kecil-kecil, sampai menyucikan pakaian sekolah ku. Ayah yang berperan sebagai
sosok ibu juga memberikan rasa kenyamanan pada diriku, beliau juga menjadi
tempat tuk aku bercerita. Meskipun tampangnya sangar, dan keras kepala. Ayahku adalah
sosok yang hebat bagiku.
Kadangkala ayahku juga bercerita, bagaimana masa
kecil yang ku lupakan. Katanya ketika kecil dulu, aku anak yang pecicilan.
Saking pecicilannya, entah gimana caranya, kepala ku bisa nyangkut pada salah
satu pagar beton tetangga. Aku menangis ketakutan karena tidak bisa keluar dari
jepitan pagar dan akhirnya ayah meminta izin pada tetangga buat nge-hancurin salah satu bagian dari
pagar beton itu untuk mengeluarkan ku. Selain itu, aku pun pernah tenggelam
dalam kolam, ketika sedang main kapal-kapalan menggunakan gabus atau sejenis
sterofoam tempat penyimpanan ikan-ikan segar seperti dipasar, gabus yang ku
sebut kapal tersebut tidak bisa ku jaga keseimbangannya dan alhasil kapal
tersebut terbalik membuatku tenggelam kedalam kolam. Melihat hal tersebut,
sontak ayah menarikku keatas permukaan. Mendengar cerita-cerita tersebut
membuatku tertawa terbahak-bahak dan sekali lagi aku mengenang masalalu yang
pernah ku lupakan.
Tanpa kehadiran ibu, aku banyak mendapat kebahagiaan
dari sosok ayah. Namun, terkadang rasa kebahagiaan itu muncul bersamaan dengan
kerinduan. Apalagi ketika melaksanakan kelulusan sekolah, teman yang lain
berbondong-bondong hadir dengan kedua orang tua dan berfoto bersama tuk mengabadikan momen.
Sedangkan aku, bukannya datang bersama orang tua, melainkan datang bersama
orang lain yang mewalikan ku, entah itu tante ataupun mamahnya temanku untuk
membantuku mengambil hasil kelulusan. Hidupku kadang memang selucu itu.
Bercerita masa kecil, dulu ketika aku masih berada
di sekolah dasar tepatnya kelas satu, aku diantar ayah ke sekolah menggunakan
sepeda. Jarak antar sekolah dengan rumah terbilang cukup jauh namun ayahku
sanggup untuk mengantarku. Jalan pun bukan beraspal seperti sekarang lebih
tepatnya masih tanah merah. setiap turun huja tanah tersebut becek, sehingga
ketika dilalui tanah tersebut menempel
entah itu pada ban sepeda ataupun alas
kaki yang digunakan dan menyebabkan cipratan pada pejalan atau pengendara yang
melewati. Dengan keadaan tersebut kembali membuat ku teringat ketika pulang
sekolah bersama ayah menggunakan sepeda, aku yang duduk di belakang harus
mengganti baju seragam terlebih dahulu agar pakaian sekolah ku tetap bersih.
Dahulu aku pernah pindah sekolah dasar, pindah
ketika memasuki kelas tiga. Pindah sekolah itupun mengikuti keinginan ayah yang
ingin mencari pekerjaan tambahan. Aku pindah ke sekolah kakak sepupuku. Aku
orangnya mudah lupa, jadi kenangan ketika sekolah dasar sudah banyak yang terlupakan.
Mungkin hanya beberapa yang ku ingat seperti
ketika sedang trend grup band, aku dan teman-teman tentu saja
mengikuti perkembangannya seolah-olah kami juga grup band tersebut. Selain itu
juga seperti bertukar kertas binder antar teman dan bermain lompat tali ketika
jam istirahat atau bahkan bermain kelereng bersama. Mengingat hal tersebut sangatlah
lucu buat dikenang, karena hal tersebut
sudah sangat minim ditemukan pada jaman sekarang.
Lulus dari sekolah dasar, aku melanjutkan sekolah
menengah pertama negeri (SMP) yang pada
saat itu tergolong sekolah favorite
karena rata-rata siswa yang bisa lulus tersebut memiliki hasil ujian yang
tinggi alias pintar-pintar. Aku yang memiliki nilai serba pas-pas an
memberanikan diri buat daftar. Tante yang membantuku mengurus tidak yakin
dengan nilaiku dan langsung memprediksi aku tidak akan lulus di sekolah
tersebut. Namun, lagi-lagi ayah yang mendorong untuk tetap mendaftarkan ku. Pada
saat pengumuman, hasilnya pun sesuai dengan keinginan yaitu aku lulus dan ayah
ikut senang mendengar hal tersebut.
Semenjak di bangku SMP, aku diantar ayah tidak lagi
menggunakan sepeda tetapi menggunakan sepeda motor yang dirakit menjadi tiga
roda. Sepeda motor tersebut dirakit karena ayahku tidaklah normal seperti
kebanyakan orang, ayahku merupakan penyandang disabilitas yaitu seorang tuna daksa.
Meskipun tidak bisa berjalan normal, ayah tetap mampu mengantarku sekolah sejak
dibangku SD sampai SMP. Hingga aku dibelikan sepeda motor sendiri pada usia 15
tahun, ayah tetap mengiringiku di belakang untuk dipantau sampai ke sekolah.
Kenangan selama di SMP juga banyak terlupakan, yang
teringat hanyalah waktu dulu tidak diizinkan ayah mengikuti kegiatan
ekstrakulikuler sekolah karena disuruh untuk fokus belajar. Hasilnya pun aku
hanya mempunyai sedikit kenangan dan itupun sudah terlupakan semua. Pada saat
aku kelas 3 SMP, aku pindah rumah. Pindah ke kampung halaman semula, dan
membangun rumah. Pindahan kali ini di
karenakan, rumah yang kami tempati sebelumnya memiliki masalah. Dan ayah pun
memutuskan kita akan pulang ke kampung halaman.
Jika diingat, pada saat itu merupakan masa-masa
terberatku dan ayah. Ayah pusing memikirkan rumah bermasalah, dan aku tentu
saja pusing memikirkan ujian kelulusan. Waktu itu, kebutuhan finansial kami
juga bermasalah jadinya untuk makan pun di perhitungkan dengan benar. Pada saat
itu aku memang tidak mengerti dengan masalah yang dihadapi, namun aku yakin
ayah sanggup menyelesaikannya. Benar saja, Tuhan Maha Adil tidak ingin melihat
ayahku kesusahan terlalu lama, sehingga masalah rumah pun cepat terselesaikan
dan uang ayah yang disetorkan ke rumah pun kembali utuh di tangan ayah.
Semenjak kejadian tersebut sudah diputuskan kami akan pindah kekampung halaman
dan membangun rumah sendiri agar tidak bermasalah lagi.
Ketika pindah rumah yang kotanya berbeda dengan
sekolah, membuatku berangkat menggunakan alat transportasi umum yaitu taksi.
Kadang-kadang juga menggunakan sepeda motor sendiri, namun aku yang masih belum
memiliki surat ijin mengemudi ini masih was-was dengan jalan raya dan aku pun
memutuskan untuk naik taksi saja. Dengan keputusan tersebut tentu saja masih
melibatkan ayah, yaitu setiap jam 6 pagi ayah mengantarku mencari taksi. Ayah
tidak memperdulikan kondisi tubuhnya lagi, ia tetap mengantarkanku agar aku
tidak terlambat sampai di sekolah.
Sampai pada akhirnya aku menyelesaikan ujian
kelulusan sekolah menengah pertama. Dan
kembali melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya yaitu Sekolah Menengah Atas
(SMA). Waktu daftar sebelumnya aku dibantu oleh tanteku, kali ini aku mendaftar
sekolah hanya dengan ayahku saja. Meskipun ayah kesusahan berjalan hanya
menggunakan tongkat, ia tetap rela membantuku. Lagi-lagi bermodal nekat, aku
mendaftar di sekolah yang tergolong favorite. Dan benar saja, masih ada yang
memprediksikan aku bakal gugur karena persaingan disekolah tersebut sangatlah
banyak. Hingga, ketika pengumuman kelulusan nama ku lolos seleksi dan Tuhan
Maha Bijaksana masih mempercayakan diriku belajar di sekolah favorite dan
berkumpul dengan orang-orang pintar lainnya. Aku sangat bersyukur, ayah menjadi
penopang yang kuat dikala orang lain berusaha menjatuhkan ku.
Semasa SMA aku masuk jurusan IPS. Benar saja, anak IPS dahulunya
masih dicap rendah dari jurusan MIPA. Awalnya ayah kecewa karena aku tidak bisa
masuk jurusan MIPA, namun lambat laun ayah menerimanya. Apalagi tiap
semesternya aku berhasil masuk rangking 5
besar. Kadang-kadang juga pernah masuk 3 besar dan itu membuat ayah
senang.
Masa SMA yang bisa dibilang sudah memasuki usia
remaja seringkali membuatku rapuh karena memikirkan banyak masalah entah itu
masalah pertemanan, masalah pelajaran hingga sampai masalah keluarga. Pada saat
seperti itu, yang dibutuhkan remaja lainnya hanyalah seorang ibu sebagai tempat
berkeluh kesah. Berbeda dengan ku, aku menceritakan semuanya dengan ayah. Ayah
pernah berkata “hidup jangan seperti motor mogok yang hanya terfokus pada
sebabnya saja, jika kita ingin maju maka carilah solusi yang bijak agar kita
dapat terus berjalan sampai tujuan tercapai”.
Artinya, ayah menginginkan ku melupakan dan
mengiklaskan kejadian yang dapat merusak fokusku untuk sukses. Orang lain mau
mengkritik silahkan, kita tetap berpegangan pada prinsip kita. Benar saja apa
yang diucapkan oleh ayah, mampu mendorong ku menjadi seorang perempuan yang
tangguh.
Sekali lagi, ayah berperan ganda untukku yaitu menjadi
sosok ibu yang mengayomi sekaligus berperan menjadi ayah yang bertanggung jawab
menafkahi dan melindungiku. Meskipun ibu sudah lama meninggal, ayah selalu ada
untukku. Apalagi ketika aku sakit, ayah menjadi pahlawanku. Membuatkan makan,
mengambilkan pakaian untukku dsb hingga aku pulih total. Hal yang seharusnya
menjadi pekerjaan ibu, kini diambil alih oleh ayah.
Aku sangat bersyukur mempunyai ayah sepertinya.
Hingga aku lulus dari bangku sekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi pun
ayah masih sangat berjasa dalam hidupku. Ketika aku pertama kalinya gagal lolos
seleksi nasional perguruan tinggi, ayah tetap mendukungku untuk ikut ujian
seleksi bersama dan memberikan semangat. Sampai akhirnya doa dan keinginanku
terkabul lolos di perguruan tinggi. Pada saat daftar ulang aku tidak ditemani
ayah lagi, tetapi berurusan sendiri karena jarak pendaftaran tersebut sangatlah
jauh dari tempatku tinggal dan aku kasihan melihat kondisi ayah yang sudah
tidak seperti dahulu lagi.
Karena lokasi kampusku dengan rumah sangatlah jauh,
mendorongku untuk menjadi anak kos dan menjadi anak perantauan di kota orang.
Awalnya ayah tidak mengijinkan karena takut untuk melepaskan ku, namun pada
akhirnya ayah setuju ketika mengetahui jadwal kuliahku yang selalu masuk jam
pagi.
Ketika aku belum mempunyai kos, aku berangkat subuh
dari rumah memakai sepeda motor. Karena perjalanan satu jam lamanya aku
memutuskan berangkat jam 5 pagi yang mana kondisi masih gelap dan berembun yang
membuat hawa masih dingin. Aku berangkat ditemani ayah yang mengiringi ku di
belakang sampai kejalan raya, karena jalan di rumahku masih banyak hutan dan
terbilang sepi dan ayah khawatir. Kala itu aku meneteskan air mata karena
melihat perjuangan ayah yang sangat besar untukku. Apalagi ketika membantuku
mencari kos-kosan, ayah merelakan tubuhnya kecapean hanya untuk mengetahui
keberadaan kosan ku.
Hingga pada usia ku sekarang, ayah masih menjagaku.
Apalagi ketika lebaran hari raya, kami berdua mengunjungi makam ibu. Tiba di
makam, aku rindu sosok ibu dikehidupan ku, aku rindu masa kecil yang kulupakan
ketika bersama ibu, aku rindu memanggilnya dengan sebutan ibu. seringkali aku
membayangkan kami bertiga bisa berkumpul dan berfoto seperti keluarga yang
lain. Rasanya memberikan kehangatan dalam hatiku. Aku memandangi batu nisan ibu
lambat laun air mata menetes ditambah ketika di jalan selesai dari makam, aku
memandangi punggung belakang ayah, dan meneteskan air mata tersadar bahwa
diusiaku sekarang aku masih belum membuat ayah bangga. Aku masih seorang gadis
remaja yang belum sanggup berpisah dari seorang ayah. Tak pernah terbayang jika
suatu saat nanti aku menikah, akan seperti apa kehidupan ku selanjutnya.
Gelombang kehidupan sudah banyak kulalui bersama
ayah, meskipun karang menghadang ayah masih mampu menopang dan melindungiku
dari hantaman tersebut. Dari tulisan singkat yang masih terbilang kualitas
rendah ini mampu membuatku mengingat dan merindukan masa kecilku.
Comments
Post a Comment